Karena nonton dengan cowok terlalu mainstream. Ini review film dari penonton biasa, boleh percaya boleh tidak kok.
Hari itu saya sengaja pulang lebih awal dari kantor, yup i promised to go to the cinema with my Mom. Saya tahu, beliau sangat jenuh di rumah, dibandingkan dengan halaman rumah di Sekampung, halaman disini yang cuma 30 an m2 memang terlalu kecil. Meski saya menyiapkan pot-pot tanaman dan puluhan polybag tetap saja, semua tanaman itu akan selesai dirawat kurang dari setengah jam. Niat buat mengajak nonton ini sebenarnya sudah lama sekali, tapi saya harus memilih film yang tepat. Harus film Indonesia, yang saya juga pengen tonton dan waktunya memungkinkan. Dan akhirnya, film Haji Backpacker jadi pilihan.
Saya fikir, ceritanya mungkin adalah cerita orang yang dengan cara murah pengen naik haji, hmm tapi perkiraan awal saya tentang judul ternyata salah. Sebelum menonton, saya sudah browsing trailler film. Mencoba memastikan apakah film akan menarik atau tidak. Kesan pertama, sepertinya cukup menarik.
Film ini mengisahkan perjalanan Mada, yang kecewa dengan takdir Tuhan, sang kekasih meninggalkannya pada saat hari pernikahan. Luka di hatinya membuatnya mengembara sampai ke Li Jiang, Tibet, Nepal dan India.
Menonton film ini, akan membuat kita dimanjakan dengan pemandangan dan tujuan wisata dari negara-negara yang disinggahi Mada dalam perjalanannya. Awal cerita dimulai dari Thailand, dan berakhir di Saudi Arabia. Latar musik yang sesuai menguatkan gambaran setiap negara dengan alunan tradisional yang unik.
Dalam dua puluh menit pertama, film ini tidak membosankan. Tapi alur maju mundur dalam ceritanya, membuat orang yang tidak terbiasa jadi mengerutkan kening. Berkali-kali, sepanjang film, ibu saya bertanya, karena alur film yang menayangkan kisah masa sekarang, masa lalu dan kerap diselingi dengan cerita dalam mimpi Mada.
Karakter dalam film juga dimainkan dengan baik, hmmm Abimana..jelas sangat kuat memerankan Mada. Laura Basuki juga menggambarkan peran gadis Tiongkok dengan dialek, pengucapan dan mimik antusiasme yang pas.
Tapi beberapa kali, saya merasa ada titik-titik cerita yang bisa dibuat lebih menarik dan greget. Ada dialog-dialog tertentu yang bisa ditunjukkan menjadi kalimat yang lebih bermakna atau malah jadi gurauan khas. Butuh lebih dari sekedar ditinggalkan seseorang, seharusnya, membuat Mada yang rajin shalat dan berdo'a menjadi orang yang sangat jauh dari Tuhan, meninggalkan orang tua, membunuh atau bahkan tidak berekspresi saat dikabarkan si Ayah meninggal.. Agak janggal rasanya, orang yang minum-minuman keras, hobby clubbing, sampai menghilangkan nyawa orang, masih berfikir daging halal atau tidak saat terdampar di Vietnam. Tapi mungkin juga keterbatasan durasi film sehingga banyak detail yang dihilangkan hehehe
Perjalanan Mada mulai dari Thailand sampai Saudi Arabia dikisahkan dengan halus. Berkonflik dengan salah seorang preman lokal di Thailand, memaksa Mada untuk menuruti saran kakaknya ke Vietnam. Luka di tubuhnya membawanya sampai ke Li Jiang (bagian ini ceritanya agak memaksa, tapi masih masuk akal sih) dan bertemu dengan Suchun. Sayangnya, beberapa negara lain, seperti Tibet dan Nepal ditampilkan sebagai tempat yang dilewati saja, tanpa dialog.
Adegan paling membekas dalam film ini, adalah saat Mada sampai di Saudia Arabia, dan mengunjungi salah satu kompleks pemakaman disana. Dan lagu Uje yang melatari adegan, membuat air mata tidak bisa dibendung. Menurut saya siih, karena tempat itu juga merupakan salah satu tempat yang ingin saya kunjungi saat saya masih hidup. Tapi sungguh, cara si sutradara merekam lokasi-lokasi di film ini memang patut diacungi jempol. Dulu sebelum sampai Belanda, saat saya menonton film 99 cahaya di langit Eropa, saya jadi berdo'a, semoga suatu hari sampai ke Eropa. Dan kemasan film ini membuat saya juga ingin mengunjungi negara-negara itu..suatu hari nanti ^_^.
Adegan paling membekas dalam film ini, adalah saat Mada sampai di Saudia Arabia, dan mengunjungi salah satu kompleks pemakaman disana. Dan lagu Uje yang melatari adegan, membuat air mata tidak bisa dibendung. Menurut saya siih, karena tempat itu juga merupakan salah satu tempat yang ingin saya kunjungi saat saya masih hidup. Tapi sungguh, cara si sutradara merekam lokasi-lokasi di film ini memang patut diacungi jempol. Dulu sebelum sampai Belanda, saat saya menonton film 99 cahaya di langit Eropa, saya jadi berdo'a, semoga suatu hari sampai ke Eropa. Dan kemasan film ini membuat saya juga ingin mengunjungi negara-negara itu..suatu hari nanti ^_^.
0 comments